Senin, 12 April 2010

Kesederhanaan Pangkal Kebahagiaan October 10, 2007

Posted by lenterahati in Gede Prama, Uncategorized.
trackback

Setiap bentuk kejadian dalam hidup, saya yakini, selalu menghadirkan makna. Perjalanan hidup sebagai konsultan, kerap membuat saya harus bergaul intensif dengan sejumlah orang kaya dan berada. Berbagai macam pengalaman telah saya lalui bersama mereka. Ada yang menyenangkan seperti bermain golf, jet ski, menginap di hotel berbintang sampai dibelikan barang-barang mewah. Ada juga yang menyengsarakan, seperti dimarahi istri klien tanpa tahu sebab musababnya, digoda ikut masuk ke dalam kehidupan-kehidupan menyimpang, dan masih ada lagi yang lain.

Syukurnya, sampai sekarang saya masih bisa menjaga jarak secara seimbang terhadap semua ini. Namun, ada satu hal yang menggoda saya untuk diulas di sini. Orang yang kaya materi, tidak sedikit yang menyesali hidupnya. Jarang berkata syukur ke Tuhan. Sejumlah kekayaan yang diwariskan orang tua mereka, kerap malah membuat kehidupan penuh perkelahian, kebencian dan perselisihan.

Tidak sedikit keluarga pewaris saham perusahaan besar, yang selama hidupnya berkelahi tiada hentinya. Ditandai oleh banyaknya segi tiga kebencian. Kecurigaan terhadap setiap anggota keluarga. Digabung menjadi satu, kekayaan yang dikumpulkan secara susah payah oleh generasi pendahulu, tidak membuat hidup lebih mudah, malah sebaliknya membuat semuanya jadi sengsara.

Memang, ada banyak sebab yang bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, satu hal pasti, ketidakmampuan untuk hidup dan berfikir sederhana, telah membawa mereka pada lautan kehidupan yang penuh dengan tekanan.

Saya mensyukuri sekali kehidupan yang bergerak perlahan dari tataran yang sangat bawah. Ketika masih mengontrak dari satu rumah kecil ke rumah kecil yang lain, rasanya bahagia sekali kalau bisa memiliki rumah BTN. Ketika masih bergelantungan di bus kota, rasanya nikmat sekali jika bisa punya mobil. Tatkala hidup dengan makan sangat pas-pasan, selalu terbayang enaknya makan dengan daging yang memadai. Saat anak masih sekolah di sekolah negeri sederhana di pinggiran Jakarta, ada cita-cita agar mereka bisa masuk di sekolah terkemuka.

Sekarang, ketika semua itu sudah berlalu, tidak hanya rasa syukur yang teramat sering saya ucapkan ke Tuhan, tetapi kepala otomatis merunduk ketika menemui orang-orang dengan tingkatan kehidupan di bawah. Ada godaan untuk selalu menolong, bila ada kemampuan untuk melakukannya. Dan yang paling penting, pengalaman meniti tangga kehidupan dari bawah, membuat saya sering ingat akan pentingnya kesederhanaan hidup.

Seperti pernah ditulis Deana Rick dan rekan di Personal Excellence edisi Mei 1999, “having too much can actually be a hindrance to an attitude of gratitude because, in reality, you can not appreciate what you have, if you have too much“.

Dengan kata lain, memiliki kekayaan yang terlalu banyak sering mengurangi rasa syukur. Sebab, penghargaan terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan semakin banyaknya uang yang dimiliki.

Nah, kesederhanaan berfikir dan kesederhanaan hidup itu penting dalam konteks ini, karena ia yang bisa menjadi jembatan yang memadai antara rezeki dan keinginan. Rezeki, sebagaimana kita tahu mengenal batas-batas. Sedangkan keinginan di pihak lain seperti langit, tidak ada batasnya.

Kesederhanaan bisa menjadi jembatan dalam hal ini, karena bisa menjadi ‘manajer’ bagi sang diri. Ia yang memilih mana yang betul-betul perlu, dan mana yang hanya pelengkap saja. Ia yang memisahkan keinginan yang diwarnai egoisme, dengan keinginan yang perlu dipenuhi.

Kembali ke cerita awal tentang orang kaya materi yang hidupnya penuh percekcokan, mereka memang punya uang, tetapi pengalaman hidup yang langsung di atas, membuat kesederhanaan bisa menjadi barang mewah buat mereka.

Dibandingkan dengan saya yang pernah memakan sayap ayam berbulan-bulan, dan sekarang mudah sekali merasakan enaknya makan, makan Mc. Donald, Kentucky, atau malah restaurant mewah sekalipun bagi orang kaya tadi tidak pernah menimbulkan selera.

Bagi saya yang pernah mengontrak sejumlah rumah kecil kumuh dan sederhana, tinggal di rumah dengan tanah ratusan meter sudah sangat memuaskan. Tetapi bagi mereka, ini hanyalah sesuatu yang tidak perlu dihargai dan disyukuri.

Untuk ukuran manusia yang bertahun-tahun bergelantungan di bus kota, naik sedan menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi anak orang kaya di atas, ia hanyalah keseharian yang biasa dan hambar.

Dengan latar belakang pendidikan SD di desa, dan anak pernah sekolah di SD negeri pinggiran Jakarta, bisa menyekolahkan anak di sekolah khusus adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Namun, bagi orang kaya di atas, ini hanyalah sebuah rutinitas tanpa rasa.

Seluruh cerita dan ilustrasi ini memperkuat argumen Deana Rick, bahwa greed and materialism block thankfullness. Keserekahan dan materi menghalangi ketulusan untuk bersyukur pada Tuhan.

Sebaliknya dengan kesederhanaan, rasa syukur, terimakasih, penerimaan bagi sang hidup, mudah sekali muncul. Saya tidak tahu, bagaimana pengalaman Anda. Namun, saya amat bersyukur pada Tuhan yang pernah membawa saya pada kelokan-kelokan kehidupan yang membuat saya sampai pada kesimpulan: “kesederhanaanlah awal dari kebahagiaan“.

Saya mengisi prinsip ini dengan berjalan-jalan mengelilingi rumah setiap sore sambil mengucapkan terimakasih. Menggendong dan menciumi anak-anak bila ada kesempatan. Merayu istri persis seperti saat kami masih pacaran. Anda, saya kira, bisa melakukannya dengan cara Anda sendiri.

Jangan Mengeluh June 9, 2006

Posted by lenterahati in Anonymous, Lentera Hati, Uncategorized.
trackback

Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa.

Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, “Lulu, Lulu.”. Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, “Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu.” Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak, “Lulu, Lulu”. “Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?” tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab, “Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu.”

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki.
Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.

Cerita terakhir adalah mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, “Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat,saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.”

Indonesia Pensiun October 15, 2007

Posted by lenterahati in Gede Prama, Uncategorized.
trackback

Ada satu penyakit kejiwaan yang amat ditakuti mereka yang akan dan telah pensiun: post power syndrome. Semacam kekecewaan terhadap hidup, diakibatkan karena yang bersangkutan tidak lagi dihormati dan dipuji seperti ketika masih berkuasa. Titik pensiun, demikian sejarah sejumlah orang bertutur, adalah mirip dengan titik percepatan kematian. Di usia ini, banyak orang mulai rajin melihat iklan duka cita. Sebuah kegiatan, kalau boleh jujur, yang sebenarnya juga mempercepat kematian. Sebab, sebagaimana diyakini oleh pendekatan magnetic power of thought, fikiran yang sering diisi oleh bayangan tentang kematian, akan membawa kita ke tempat yang sama.

Bila menggunakan ukuran umur pensiun orang Indonesia yang berjumlah 55, maka tahun ini Indonesia memasuki usia pensiun. Bila penyakit barometernya, sinyal-sinyal pensiun sudah mulai kelihatan. Timor Timur yang kisruh, Aceh yang tambah bergejolak, Ambon yang rusuh tiada henti, Riau dan Irian yang mulai berhitung tentang hasil buminya yang diboyong Jakarta, Bali yang pernah dilanda isu mau merdeka, ancaman bila calon presiden tertentu tidak terpilih maka Indonesia Timur akan menjadi negara sendiri, dan masih banyak lagi deretan sinyal sejenis.

Bagaimana dengan post power syndrome? Ini juga memiliki banyak bukti. Kalau boleh berterus terang, nasib republik ini yang sedang berantakan di sana-sini, sebenarnya amat diwarnai oleh perilaku sejumlah pensiunan dan calon pensiunan.

Suharto ketika mau turun tahta, berhadapan dengan pensiunan seperti Barisan Nasional. Habibie juga sama, nasibnya dibuat tidak mujur oleh sejumlah pensiunan yang bermain money politics. Sejumlah menteri yang sudah tahu umur kabinetnya tinggal beberapa hari – di zaman Habibie, segera memensiunkan diri dengan alasan-alasan yang patriotik namun tidak simpatik. Belum lagi bila ditambah dengan diskursus publik kita yang dibuat amat kisruh oleh banyak sekali pensiunan. Singkat cerita, Indonesia bukan tidak mungkin akan turut dibawa pensiun oleh sejumlah pensiunan.

Mengamati proses sidang MPR/DPR tahun 1999, yang diwarnai oleh demikian banyaknya lobi, sampai-sampai mengalahkan kekuatan representasi yang dihasilkan pemilihan umum, tampaknya lima tahun yang akan datang masih akan ditandai oleh banyak nightmares. Demikian juga tanya jawab ’seru’ di DPR yang memplonco Gus Dur melalui kasus pemecatan dua menteri, bukankah itu hanya hasil permainan kebanyakan orang yang ogah pensiun?

Siapapun yang jadi presiden, hamparan tugas berat sedang menunggu. Dari partai apapun ia berasal, tetap akan ditandai oleh goyangan-goyangan dari partai lain. Bagaimanapun besarnya legitimasi yang ia peroleh dari rakyat, diskursus orang-orang ogah pensiun akan tetap berlanjut.

Tampaknya teori yang mengatakan bahwa dunia modern ditandai oleh differentiation, dan dunia postmodern ditandai oleh de-differentiation, tampaknya akan dikoreksi oleh Indonesia lima tahun ke depan. Walaupun dunia sudah berubah judul dengan postmodern, namun Indonesia akan memasuki usia pensiun modern.

Dua hal yang amat berbeda tentunya. Dunia posmodern, meminjam argumen sejumlah postmodernis, ditandai oleh leburnya banyak sekali dikotomi. Barat-timur, kulit hitam-kulit putih, desa-kota, tradisional-modern, adalah sebagian dikotomi yang sudah dibuat lebur oleh kecenderungan postmodern. Sedangkan Indonesia yang memasuki usia pensiun modern, justru sedang membuat dikotomi-dikotomi baru.

Muslim-non muslim, Islam tradisionalis-Islam modernis, nasionalis-nonnasionalis, Jawa-luar jawa, reformasi-status quo, adalah sebagian dikotomi yang tercipta di pintu gerbang Indonesia pensiun.

Ketika berdialog dengan sejumlah warga Riau yang mulai muak tanah kelahirannya dikuras habis-habisan, lebih-lebih dimanfaatkan sebagai ladang korupsi orang Jakarta yang memuakkan, mulai ada orang yang mengharapkan bahwa Indonesia akan benar-benar pensiun.

Terlepas dari motif di belakang harapan agar Indonesia pensiun, bangunan Indonesia sejak awal memang amat rapuh. Melalui konsepsi ‘bekas jajahan Hindia Belanda’, Indonesia hanya direkat oleh lem historis, spiritual maupun kebudayaan yang amat mudah meleleh. Lebih-lebih di tambah dengan upaya sengaja oleh penguasa, untuk memperlemah lem melalui tindakan korup. Dengan modal lem selemah ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan benar-benar pensiun.

Cirinya, sebagaimana dikemukakan di awal, ada dua. Pertama, mulai banyak yang melihat iklan duka cita (baca: melihat pengalaman negara-negara almarhum seperti Yugoslavia dan Soviet bersatu). Kedua, dipermainkan oleh perilaku post power syndrome.

Yang pertama saya kira sudah jelas. Diskursus publik kita sudah ditandai oleh banyak kutipan tentang Yugoslavia dan Soviet sebelum disintegrasi. Pengalaman kita juga sudah mirip-mirip. Ada pasukan internasional yang masuk ke Tim-tim, ada isolasi perekonomian dari lembaga keuangan multi lateral, ada dukung mendukung tersembunyi dari negara adi kuasa, ada tetangga yang demikian takut sampai-sampai menjadi sombong tidak ketulungan.

Tentang post power syndrome, intinya hanya satu: sudah tidak duduk di kursi kekuasaan namun meminta semua orang memperlakukan dirinya sama dengan tatkala masih berkuasa. Atau, masih duduk di kursi kekuasaan, tetapi berharap duduk di situ selamanya. Bukankah semua perseteruan manajemen publik kita hanya berkisar tidak jauh dari sini?