Rabu, 10 Maret 2010

kata2 mutiara

SIKAP

Semakin lama saya hidup, semakin saya sadar
Akan pengaruh sikap dalam kehidupan

Sikap lebih penting daripada ilmu,
daripada uang, daripada kesempatan,
daripada kegagalan, daripada keberhasilan,
daripada apapun yang mungkin dikatakan
atau dilakukan seseorang.

Sikap lebih penting
daripada penampilan, karunia, atau keahlian.
Hal yang paling menakjubkan adalah
Kita memiliki pilihan untuk menghasilkan
sikap yang kita miliki pada hari itu.

Kita tidak dapat mengubah masa lalu
Kita tidak dapat mengubah tingkah laku orang
Kita tidak dapat mengubah apa yang pasti terjadi

Satu hal yang dapat kita ubah
adalah satu hal yang dapat kita kontrol,
dan itu adalah sikap kita.

Saya semakin yakin bahwa hidup adalah
10 persen dari apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita,
dan 90 persen adalah bagaimana sikap kita menghadapinya.

Akhirnya: Seluruh pilihan terletak di tangan Anda, tidak ada JIKA atau TETAPI. Andalah pengemudinya. Andalah yang menentukan JALAN HIDUP ANDA…!

osted by lenterahati in Gede Prama, Uncategorized.
trackback

Bagi Gede Prama, keberhasilan maupun kegagalan adalah buah dari keyakinan seseorang. “Keberhasilan itu berawal dari keyakinan. Dan kita bisa mengubah banyak sekali hal lewat keyakinan,” katanya. Sayangnya menurut Gede, keyakinan orang sering terbelenggu oleh pikiran-pikiran rasionalnya serta pengalaman-pengalaman ekstrim di masa lalu. Mereka yang gagal menumbuhkan keyakinan positif –sekalipun dia sangat berpotensi– biasanya justru gagal dalam kehidupan.

“Saya mengenal banyak orang yang secara potensial biasa-biasa saja. Tapi karena didukung oleh yang namanya raksasa keyakinan, dia berhasil. Yang banyak terjadi adalah orang yang potensinya rendah tapi keyakinannya tinggi, dia berhasil. Sebaliknya ada orang yang potensinya tinggi tapi keyakinannya rendah, ya ndak berhasil,” ungkap Gede Prama.

Agak sulit mencari tokoh seperti Gede Prama ini. Ia tidak saja dikenal sebagai seorang kolumnis yang produktif, penulis buku, konsultan manajemen, public speaker, tapi juga dikenal pernah menjadi CEO perusahaan jamu papan atas. Sebagai kolumnis, tulisannya yang mudah dicerna menghiasi berbagai media masa dan media online. Belasan buku laris sudah diselesaikannya, termasuk sejumlah kaset (audio book) yang digemari banyak orang. Sejak tahun 1993 ia menjadi konsultan manajemen dan presiden Dynamics Consulting, dan pernah pula berposisi sebagai CEO perusahaan besar yang tak lama kemudian ditinggalkannya.

Alumnus Universitas Lancaster Inggris ini juga dikenal sebagai salah satu inspirator dan public speaker terbaik di Indonesia. Lebih dari seratus lembaga profit dan non profit seperti perbankan, asuransi, BUMN, perhotelan, manufaktur, telekom, perusahaan-perusahaan DS/MLM, serta berbagai asosiasi pernah mengundangnya sebagai pembicara. Orang gemar dengan gaya penuturannya yang menyegarkan, menyentuh, mudah dimengerti, mendalam, sekaligus mengandung unsur-unsur filosofi yang tinggi.

Tak mengherankan bila banyak orang terinspirasi oleh gagasan-gagasannya. Tak terkecuali seorang cendekiawan Islam kondang seperti Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, yang mengaku terkesan sekali dengan teori “Tahi Sapi” ala Gede Prama. Teori ini bertutur tentang cara pandang positif yang bisa membangkitkan sebuah kebesaran hati apabila seseorang mendapat penghinaan atau perlakuan buruk dari orang lain.

Gede Prama dikarunia tiga orang anak. Ia mengaku, keluarga adalah kekayaan dalam kehidupannya. Ia sering menikmati waktu hujan bersama dengan anak-anaknya di halaman rumah. Saat-saat libur akhir tahun misalnya, lebih sering dipakai untuk menulis dan berkumpul bersama keluarga. Dan Gede Prama sangat bersyukur dengan kehidupan yang diperolehnya saat ini.

“Sebagai seorang public speaker merupakan jalan kehidupan yang indah, dapat uang cukup, senang, dan beribadah. Saya dapat tiga-tiganya sekaligus. Makanya saya melihat hidup saya itu indah. Life is beautiful,” tutur Gede menyebut sebuah judul film Itali yang ditontonnya berulang-ulang. Wawancara berikut merupakan salah satu wawancara terlengkap dan terbaik yang pernah dilakukan Edy Zaqeus dengan sang inspirator. Wawancara ini merupakan salah satu bagian dari buku best seller Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah! (Gradien, 2004)

Anda punya tujuan yang lebih…?

Oh, ya. Bagi saya kekayaan itu yang paling berguna adalah independensi. Kebebasan dalam arti yang luas. Di mana dunia kepegawaian adalah salah satu rantai yang membuat kita tidak terlalu independen. Jangankan di posisi bawah, di posisi presiden direktur pun kita ndak independen. Kan berhadapan dengan pemilik, berhadapan dengan komisaris, dengan aturan-aturan. Kalau kita menjadi pekerja independen, kan kita menentukan dan mengarahkan hidup kita sendiri. Jadi orang pikir saya enjoy di posisi nomor satu. Sebenarnya ndak. Saya lebih enjoy di profesi di mana saya bisa terbang sebebas burung-burung terbang di udara. Jadi, kebebasan! Persoalan jumlah uang dan jumlah materi itu relatif. Materi jadi sedikit, kalau kita pengeluarannya banyak. Materi jadi banyak, kalau kita pinter mengelolanya. Jadi bukan jumlah yang saya hitung, tapi bagaimana kita mengelolanya.

Orang itu sukses karena dia dilahirkan sebagai orang sukses, atau karena usahanya sendiri?

Saya menganut keyakinan, ya lebih banyak karena usaha. Kalau benar keyakinan banyak orang bahwa sukses itu terlahir, berarti sukses sesuatu yang sudah given. Tepatnya ndak. Sukses adalah sesuatu yang harus kita upayakan, kita cari. Badan serta jiwa kita yang mirip dengan karet yang bisa dibentuk ke mana-mana. Perkaranya apakah kita membentuknya ke arah yang lebih berbau kegagalan atau ke arah yang berbau keberhasilan. Itu lebih banyak bentukan kita. Ada unsur di luar bentukan kita, tapi lebih banyak unsur bentukan kita. Jadi sukses lebih banyak diusahakan. Terutama faktor perjuangan yang kita lakukan dalam hidup. Karet bisa ditarik sebesar apapun tergantung seberapa kuat kita menariknya.

Kalau keberuntungan, apakah dibawa sejak lahir atau karena diupayakan?

Bisa dua-duanya. Ada orang mengatakan dengan seluruh ilmu hokinya, dia terlahir (beruntung) dengan bentuk hidung dan sebagainya. Dua-duanya ada. Orang-orang yang dilahirkan beruntung mungkin memerlukan upaya lebih rendah dibanding orang yang terlahir tidak beruntung. Yang jelas dua-duanya sama-sama bisa berhasil. Cuma dengan tingkat kuantitas dan kualitas usaha yang berbeda. Jangan menyetempel; ndak hoki Anda pasti gagal, ndak!

Namun kebanyakan orang meyakini keberuntungan dilahirkan?

Boleh saja. Dan sebagaimana diketahui oleh sahabat-sahabat dari MLM, keberhasilan itu berawal dari keyakinan. Kalau belum apa-apa anda sudah meyakini tidak beruntung dan tidak berhasil, kalau kemudian anda tidak beruntung dan tidak berhasil lebih banyak gara-gara keyakinan anda. Keyakinan itu awalnya. Dan kita bisa mengubah banyak sekali hal lewat keyakinan.

Nah, dalam mengubah proses keyakinan, penghambat kita yang paling utama adalah mind. Mind itu bukan otak atau pikiran. Tapi yang jelas pikiran itu salah satu pintu menuju mind. Kalau kita bisa mengubah mind kita menjadi mind yang absolutly and totally believe pada keberhasilan, kita berhasil.

Saya mengenal banyak orang yang secara potensial biasa-biasa saja. Tapi karena didukung oleh yang namanya raksasa keyakinan, dia berhasil. Yang banyak terjadi adalah, orang yang potensinya rendah tapi keyakinannya tinggi, dia berhasil. Sebaliknya, ada orang yang potensinya tinggi, tapi keyakinannya rendah, ya ndak berhasil. Saya punya teman, orang yang brilian, pintar. Tapi kebriliyanannya tidak membuat dia berhasil, karena menyepelekan banyak perkara. Akhirnya nggak berhasil. Sebaliknya ada banyak orang biasa -jangan terlalu bodoh- karena merasa dirinya punya kekurangan, kemudian dia menutup kekurangannya dengan usaha besar-besaran. Usaha besar-besaran inilah yang menjadi energi keberhasilan yang luar biasa.

Anda tahu, orang-orang yang berhasil sebagian datang dari orang-orang yang ndak cerdas. Tapi, karena kekurangcerdasan itulah kemudian dia menutup kekurangannya dengan usaha besar. Dan kecerdasan bisa positif, bisa negatif. Positifnya, menjadi modal lari yang kuat. Negatifnya, membuat kita menyepelekan. Sekarang perkaranya tergantung pada kita. Mau meletakkan potensi kecerdasan dan sebagainya sebagai modal untuk maju, atau sebaliknya membuat kita leha-leha dan tidur siang tiap hari. Jadi kembali ke yang tadi, life is a mind game.

Jadi keyakinan yang utama?

Keyakinan intinya. Cuma menyangkut keyakinan itu seringkali dibatasi banyak hal, antara lain pikiran. Pikiran cara kerjanya kan berkalkulasi, berhitung. Kalau saya melompat paling tinggi 50 cm. Kalau saya melakukan ini maksimum saya bisa mencapai ini. Berhitung. Jadi keyakinan pertama kali dihambat oleh pikiran. Pikiran itu kayak langit-langit (dalam ruangan) yang membatasi penglihatan kita. Kalau Anda memiliki keyakinan yang tinggi, raksasa yang berasal dari dalam, maka yang pertama mesti dilampaui adalah pikiran. Hanya, banyak orang yang dibelenggu dan digembok oleh pikiran. Yang kedua adalah pengalaman, terutama yang ekstrim di masa lalu. Pengalaman buruk membuat orang traumatik, kemudian ndak yakin. Pengalaman pernah berhasil membuat orang menjadi sombong. Yang ketiga pendidikan masa kecil. Point utamanya keyakinan. Orang bodoh bisa cakap. Orang yang nggak pengalaman bisa percaya diri. Itu karena keyakinan saja. Banyak hal bisa berubah karena keyakinan.

Orang bisa mengalami kegagalan secara beruntun, dan akhirnya berkesimpulan, dirinya dilahirkan bukan sebagai orang yang beruntung. Komentar Anda?

Yang terpenting sebenarnya bukan berapa banyak kita jatuh. Tapi seberapa banyak kita bangun. Karena keberhasilan ditentukan oleh seberapa banyak kita bangun, bukan seberapa banyak kita jatuh. Masalahnya adalah banyak orang gagal yang lebih banyak berhitung berapa kali jatuhnya dibanding berapa kali bangunnya. Banyak orang mengatakan lebih banyak jatuh, lebih down anda. Saya katakan lain. Lebih banyak anda jatuh, lebih kuat anda. Kejatuhan dalam jumlah yang banyak jangan diijinkan sebagai sebuah kecelakaan yang membuat anda pasti runtuh. Tapi gunakan kejatuhan yang banyak itu sebagai vitamin untuk bangkit, bangkit, dan bangkit lagi. Dalam kehidupan banyak orang yang berhasil, mereka adalah orang yang ndak pernah berhenti bangun.

Apakah benar semua orang dilahirkan untuk menjadi pemenang?

Bisa ya, bisa tidak. Kembali kepada keyakinan keberhasilan yang lebih banyak kita bentuk dibandingkan unsur dilahirkan tadi. Kalah menang itu hanya perkara pikiran saja. Orang menjadi kalah karena pikirannya memproduksi dia untuk menjadi kalah. Orang menjadi menang karena pikirannya memproduksi dia menjadi menang. Sehingga point utamanya adalah seberapa cermat kita dan seberapa pintar kita mengelola pikiran. Pikiran itu mirip dengan pedang. Dia bisa membantu. Dengan pikiran kita bisa mengukur, mengkalkulasi, meramalkan, memilah-milah. Tapi ada aspek kedua dari pikiran, di samping membantu dia juga membatasi. Pikiran membatasi orang untuk bisa terbang tinggi. “Ah, saya satpam. Sehebat-hebatnya saya hanya kepala satpam!“. Kalau saya di banyak forum menyatakan, “Jangan gunakan pikiran sebagai pembatas. Gunakanlah sebagai pembantu!“. Caranya hanya satu, lampaui pikiran.

Untuk melampaui pikiran itu apa yang harus dilakukan?

Ada kegiatan interaktif sifatnya. Dengan mencoba, ada hasil. Kalau ada hasil, keyakinan akan naik. Coba-hasil-keyakinan. Tapi dalam lingkaran ini yang terpenting adalah mencoba. Beda antara orang beruntung dengan orang kurang beruntung hanya dalam jumlah mencoba. Orang yang beruntung mencobanya lebih sedikit. Orang yang kurang beruntung mencobanya lebih banyak. Itu saja. Perkaranya adalah –terutama yang kurang beruntung– seberapa sabar dan seberapa tahan dia mencoba. Orang gagal adalah orang kurang beruntung, dan mencobanya kurang banyak. Orang beruntung sama sekali tidak mencoba, gagal juga. Perkaranya hanya frekuensi dan jumlah kita mencoba.

Saya lihat sukses menurut anda lebih banyak ditentukan “dari dalam” bukan “dari luar”. Padahal orang baru mau berusaha atau belajar setelah dia melihat kondisi-kondisi di luar dirinya?

Ya. Proses belajar banyak orang memang seperti itu. Karena dia akan belajar dari apa yang dia lihat, apa yang diajarkan orang lain. Dari luar ke dalam. Di tingkatan-tingkatan tertentu terbalik, nanti dari dalam ke luar. Nah, sahabat-sahabat yang masih belajar dari luar ke dalam, nanti dia akan menghasilkan ketergantungan. Termasuk ketergantungan kepada saya sebagai sumber ide. Di tingkat-tingkat tertentu tidak salah belajar dari sumber luar. Tapi kalau Anda mau mendalami substansi sukses yang lebih mendalam, kita harus ganti. Gurunya tidak lagi orang luar, tapi inner teacher. Guru yang datang dari dalam. Kalau Anda sudah bertemu dengan inner teacher, Anda sudah ketemu guru terbaik. Dan dia akan membimbing Anda. Hanya saja banyak orang yang seumur hidup tidak pernah menemukan inner teacher. Kenapa? Karena membiarkan dirinya selamanya tergantung kepada guru dari luar. Pada titik tertentu Anda harus berani memutuskan ini, adalah waktu yang tepat di mana saya berhenti kepada orang, tetapi lebih banyak berguru pada guru yang ada di dalam.

Lebih konkritnya, bagaimana kita bergaul dengan inner teacher itu?

Modal, sarana, dan kendaraannya adalah rajin berefleksi. Kalau anda rajin berefleksi terutama mempelajari catatan sejarah hidup, anda akan menemukan sebuah pola. Tapi ingat, berefleksi itu ndak bisa sekali dua kali. Ada pola, ada pathern, ada flow. Cara mengenali pola ini adalah dengan menandai titik-titik ekstrim di mana Anda pernah berhasil, di mana Anda pernah terjun ke bawah. Tanya diri Anda sendiri, kenapa berhasil waktu itu dan kenapa gagal. Pasti ada hal-hal yang menjadi benang merah yang menyatukan titik-titik ekstrim tadi. Nah, semakin banyak titik-titik ekstrim yang Anda tandai, Anda akan ketemu faktor-faktor atau variabel-variabel yang muncul di titik ekstrim itu. Kalau variabel –katakanlah kejujuran– nah, itu benang merahnya. Atau usaha, itu benang merahnya. Konsentrasikan pada satu faktor, satu variabel, yang hampir muncul di semua titik ekstrim. Nah, konsentrasikan, selami, pelajari, dalami sedalam-dalamnya satu faktor itu. Dan Anda akan dibimbing oleh inner teacher.

Kalau kita sudah menemukan inner teacher dan berpegang kepadanya, apakah kita bisa menjadi kurang peka dengan sekeliling?

Ndak seperti itu. Sebaliknya anda malah akan lebih peka. Orang curiga kalau kita berguru pada inner teacher, kita jadi ndak peka, egois, ndak. Yang saya rasakan malah lebih peka lagi. Bimbingan yang datang dari luar, kita hanya bisa berguru jika gurunya ada. Inner teacher itu kan kita bawa ke mana-mana? Sehingga di semua tempat, di semua situasi, Anda akan peka. Tapi kalau Anda bergantung pada guru luar, kan anda hanya sensitif kalau gurunya ada.

Ada yang menjuluki agama anda adalah “agama cinta”. Bisa nggak unsur cinta kasih memainkan peran dalam bisnis?

Sangat bisa, tapi cinta dalam artian luas. Di tingkatan di mana Anda sudah sampai di ujung kehidupan yang bernama cinta itu, tidak ada yang sulit. Kalau ukuran uang itu kan relatif, rezeki di tangan Tuhan. Tapi di puncak kehidupan yang bernama cinta itu, saya katakan sudah sampai di tingkatan ekstasi. Jadi keberhasilan tidak lagi dilawankan dengan kegagalan. Keberhasilan ya keberhasilan. Keberhasilan yang masih dilawankan dengan kegagalan itu menunjukkan Anda masih belum sampai di tingkatan cinta. Tingkatan bawah. Cinta itu tidak mengenal dikotomi, tidak mengenal hitam putih, tidak lawan-lawanan. Cinta ya cinta, keberhasilan ya keberhasilan. Jangan dilawankan dengan kegagalan.

Tapi di bisnis orang selalu melihat winner and loser?

Nah, itu hasil produksi pikiran. Winner and loser, true and false, right and wrong, itu hasil pekerjaan pikiran. Cinta itu melampaui pikiran. Tidak hanya melampaui pikiran, bahkan melampaui waktu. Bayangkan cinta seorang ibu kepada anak. Saya punya ibu sudah almarhum, tapi cintanya masih saya rasakan. Bayangkan cinta Ibu Theresa yang sudah meninggal beberapa tahun lalu, dia dirasakan oleh seluruh umat yang peka terhadap cinta kasihnya Ibu Theresa. Bayangkan senyuman seorang Lady Diana yang sudah meninggal di Paris, tapi orang masih terbayang kan dengan senyum- senyumnya yang lembut? Perjuangan seorang Mahatma Gandhi, akan dikenang sampai seratus dua ratus tahun kemudian dalam sejarah dunia. Kalau Anda di tingkatan cinta, banyak hal sudah dilampaui. Hanya saja cinta sebagai spirit, bukan cinta sebagai sebuah pengertian sebagaimana yang dilakukan kata-kata. Kata-kata kan selalu untuk menerangkan bahwa kalau hitam harus ada putih? Orang hanya bisa mengerti cinta kalau ada kebencian. Ndak, ini di luar pengertian.

Masalahnya paradigma yang dominan, the winner is always the best. Ketika the winner muncul, selalu ada the loser….
Nah, itu paradigma yang harus kita bongkar. Kalau dalam frame of mind cinta, tidak ada winner and loser. Yang ada hanya winner. Everybody adalah the winner. Tidak ada loser dalam tingkatan cinta. Kenapa? Karena di tingkatan cinta kita sudah memeluk cinta dan kebencian, pujian dan makian, siang dan malam, pria dan wanita, suka dan duka, dalam sebuah lingkaran yang sama mesranya. Sama dengan saya sekarang ini, kan dilayani dan dipuja orang karena jabatan. Karena baju. Tapi besok lusa atau nanti saat harus pensiun, nggak lagi dilayani orang. Karena apa? Karena baju lagi. Artinya apa? Yang dipuja, dilayani, dan dimaki itu baju. Pujian dan makian itu ditujukan ke baju, tidak ke diri kita sendiri. Kalau kita konsentrasi ke dalam cinta yang ada dalam diri kita, tidak ada pujian dan makian. Semuanya tidak perlu mempengaruhi kita. Licin! Seperti air yang menetesi batu es. Lewat! Itu cinta. Tidak lagi mengenal hitam putih.

Bagaimana caranya supaya orang-orang yang masih berada di tataran pemikiran-pemikiran sangat rasional mengenal bahasa-bahasa cinta?

Nah, gurunya yang di balik. Ke inner teacher. Sayangnya kebanyakan orang masih bergantung kepada guru-guru dari luar. Dan guru-guru dari luar kebanyakan menyampaikan pesannya melalui sarana bahasa dan kata-kata pikiran. Dalam bahasa dan sarana pikiran terjadi dikotomi. Tapi kalau gurunya inner teacher, ndak! Ini inner teacher saya yang bicara…. salah satu cara untuk bisa di tingkatan cinta, atau cara di mana kita bisa melampaui mind dan pikiran, adalah keikhlasan. Cuman bukan keikhlasan yang tanpa usaha. Ikhlas tanpa usaha itu keliru. Tapi ikhlas plus kerja keras. Beda… jadi orang kerja keras, berusaha maksimal, tapi hasilnya ikhlas itu ekstasi. Tidak lagi mengenal ukuran-ukuran angka. Tidak lagi melihat keberhasilan sebagai lawan kegagalan. Winner and loser itu ndak ada.

Jadi ikhlas yang bisa membawa kita terbang lebih tinggi dari pikiran kita. Sayangnya orang-orang yang rasional, orang-orang yang masih mengenal winner and loser itu dibatasi oleh langit-langit yang namanya pikiran, dan kemudian dia ndak bisa terbang. Padahal untuk bisa terbang ini ada sayap yang bernama keikhlasan, di mana tidak ada lagi hitungan. Sama dengan sahabat-sahabat di MLM dan direct marketing. Kalau Anda bertemu orang dengan sebuah hitungan mudah-mudahan orang itu jadi network, orang itu membeli, keberhasilan itu terbatas. Tapi kalau Anda bertemu dengan orang dengan spirit cinta yang ikhlas, keberhasilannya tidak terbatas. Kadang keikhlasan itu menyakitkan. Kita ikhlas ditipu orang. Kita ikhlas terus dipecat orang, ya bisa menyakitkan. Kita ikhlas dikira bodoh, itu menyakitkan. Tapi jangan pernah lupa! Di suatu tempat kita jatuh dua tangga karena ikhlas, di tempat lain kita dinaikkan dua puluh tangga oleh Tuhan. Cuma itu hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia yang keikhlasannya total. Keikhlasan disertai kerja keras.

Tahapan-tahapan apa yang perlu dilalui supaya orang bisa sampai pada keikhlasan?

Cara, tips, teknik, itu kan kayak kendaraan. Teknik saya ini hanya kendaraan yang cocok dengan saya. Kalau ada orang yang cocok dengan cara ini syukur alhamdullilah. Kendaraan itu banyak. Ada yang menyebut meditation, kendaraan kerja keras, macam-macamlah. Tapi saya suka berbagi kepada orang yang namanya jalan-jalan yoga. Ini tidak ada kaitannya dengan agama. Dalam jalan-jalan yoga itu ada delapan tingkatan. Tingkatan satu dan dua adalah good daily life, yaitu kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kebajikan. Sederhananya ya jalankan perintah agama masing-masing. Good daily life, kurangi menyakiti hati orang, bantu sebanyak mungkin orang, lakukan pekerjaan Anda dengan rasa cinta yang penuh.

Tiga dan empat adalah mengelola badan kita. Terutama panca indera, mulut, mata, telinga. Karena alasan itu sudah sejak lama saya vegetarian sebagai bagian dari perjalanan yoga. Di samping itu adalah mengelola perhatian. Apa yang kita perhatikan berulang-ulang dalam waktu yang lama akan membuat kehidupan kita sebagaimana yang kita perhatikan. Kalau Anda sering memperhatikan kehidupan seseorang, orang itu terus Anda amati dari A sampai Z, lama-lama Anda akan mirip dengan dia kehidupannya. The power of attention. Anda memperhatikan nafsu seks, Anda akan liar, pingin-pingin-pingin. Anda perhatikan makanan enak, nanti anda tertarik terus pada makanan. Makanya ada istilah attention is the active partner of intention. Perhatian adalah mitra aktifnya niat. Kalau kita memperhatikan serangkaian perilaku, sama dengan meniatkan diri kita sendiri untuk berkembang ke sana. Kalau Anda ingin berhasil, perhatikan hanya faktor-faktor yang berbau keberhasilan. Bilamana perlu seluruh panca indera Anda hanya digunakan untuk keberhasilan. Mata hanya untuk melihat yang berhasil, telinga hanya untuk mendengar yang berhasil, mulut makan sambil membayangkan raw material keberhasilan, semuanya.

Lima dan enam baru mengelola pernafasan. Pernafasan maksud saya adalah the breath of life is love. Nafasnya hidup itu cinta. Kalau Anda melihat dan mengalami semuanya dengan spirit-spirit cinta, Anda sudah sampai di tingkat lima dan enam. Tujuh itu meditasi, delapan itu enlightment, pencerahan. Nah, ndak perlu sampai delapanlah. Kalau Anda sampai di lima dan enam, live, life, and love. Maka inner teacher-nya ketemu. Keikhlasan. Syukur-syukur sampai tujuh dan delapan.

Mengapa Anda suka memasang gambar bertuliskan leader dan opportunity? Apa maknanya?

Saya terutama suka opportunity gambarnya bagus. Peluang adalah pulau yang berada di tengah-tengah kesulitan. Di kita, terutama di direct marketing dan MLM banyak orang baru, begitu ketemu kesulitan langsung mundur. Ketemu tantangan mudah menyerah. Kalau saya menemui kesulitan saya bayangkan diri saya tengah mencari pulau yang di tengah itu. Karena peluang selalu bersembunyi di tengah-tengah kesulitan.

Di bisnis DS/MLM orang memiliki spirit membantu orang lain menjadi sukses. Apakah itu bagus menurut Anda?

Yang saya amati banyak orang yang mendapatkan member atau downline dengan cara-cara yang “memaksa” atau “berbohong”. Walaupun yang dengan cara-cara jujur juga banyak. “Memaksa” atau “berbohong” adalah cara yang cepat atau lambat akan menghancurkan profesi itu sendiri. Saya justru menghargai sahabat-sahabat direct marketing atau MLM yang jujur sejak awal. Imej direct marketing dan MLM di Indonesia jadi kurang baik gara-gara itu. Padahal ada 1001 cara di mana kita bisa mengajak orang menjadi network kita tanpa perlu berbohong. Saya masih percaya kejujuran, ketulusan, dan cinta akan membantu dan menyelamatkan orang.

Anda sudah mendapatkan semua yang diinginkan. Apalagi yang ingin Anda capai?

Bagi saya kehidupan adalah perjalanan jiwa menuju Tuhan. Restless soul, jiwa yang tidak pernah berhenti berjalan. Dan dalam proses berjalan itu yang dicari adalah usaha penyatuan dengan Tuhan. Apapun profesi kita mau MLM, direct marketing atau wartawan, pandang seluruh perjalanan kita menuju arah sana. Kesuksesan, kegagalan, harta, tahta, rumah dan mobil, itu kalau dalam perjalanan mirip dengan pohon-pohon di pinggir jalan. Dan itu akan kita lewati. Kalau hari ini Anda naik mercedes jangan lupa itu akan Anda lewati. Entah lewat gara-gara meninggal, dijual, atau ganti yang lain. Celakanya di kita banyak sekali orang berjalan berhenti di tengah jalan memperhatikan pohon yang ditemukan. Entah pohon itu harta, pujian orang lain, terkenal, ketenaran, makian, hujatan, saya ndak mau berhenti.

Jangan berhenti di pohon-pohon simbol keberhasilan. Jalan terus! Dan kendaraan utama yang membuat perjalanan saya agak peaceful itu adalah ikhlas. Dalam tingkat keikhlasan total, perjalanan kita seperti berjalan di langit. Berjalan ndak ada hambatan. Banyak orang perjalanannya terhambat karena mobilnya menabrak pohon. Kalau yang dia tabrak kegagalan ndak masalah, karena kegagalan membuat kita berubah kemudian berusaha lagi. Yang bahaya adalah (menabrak) keberhasilan, karena kita terikat dengan simbol-simbol keberhasilan. Kayak saya terkenal, saya mau selamanya terkenal, terikat! Keberhasilan sering memproduksi keterikatan. Makanya saya sering mengatakan keberhasilan memproduksi kegagalan permanen. Kenapa? Karena dengan keberhasilan Anda menghasilkan benda-benda mewah. Dan dengan benda-benda mewah itu Anda terikat, dan dalam keterikatan itulah perjalanan Anda terhenti. Itu yang saya sebut kegagalan permanen.

(Wawancara ini pernah dimuat di Tabloid Network Indonesia Edisi Khusus No. 09/Thn 1/10 Desember 2001)

Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia di tahun 2009. Mantan presiden AS George W. Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh dan ribut urusan presiden dan pemilu.

Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik nafas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya bernafas.

Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness). Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi.

Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan. Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.

Sembah rasa

Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, namun kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.

Dan semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa. Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya.

Seperti seorang Ibu yang merawat putera tunggalnya. Tatkala puteranya tersenyum, ia gendong. Manakala puteranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong puteranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukan dengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.

Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Di hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Di menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit. Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah.

Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.

Sembah rahasia

Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.

Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Di tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi “penggembala domba” bagi banyak kehidupan.

Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, namun menghanguskan nafsu dengan nafsu.

Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.

Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) seringkali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.

Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.

Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik pada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa.

Bila menoleh ke tahun 2009, mungkin layak menyebutnya dengan tahun kekisruhan. Negeri ini kisruh oleh kisah cicak-buaya, cerita korupsi Bank Century.

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun lalu ditandai perobekan piagam PBB oleh Presiden Libya Moammar Khadafi, diikuti teriakan protes keras Perdana Menteri (PM) Inggris Gordon Brown sambil berdiri. PM Italia Silvio Berlusconi dilempar patung sehingga mukanya berdarah. Mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush pernah dilempar sepatu. Merenung di atas sejarah seperti ini, kekuasaan seperti tidak habis-habisnya menghasilkan kekisruhan.

Meminjam penghitungan perputaran waktu di beberapa tradisi, putaran waktu kali ini adalah putaran waktu yang gelap. Oleh karena itu, terjadi kekacauan kosmik di mana-mana. Tempat-tempat di mana dahulunya turun kesejukan berupa wahyu dan nabi (India, Pakistan, dan Timur Tengah) sekarang menjadi tempat membara oleh perang. Lembah Swat di Pakistan adalah salah satu tempat langka yang menyimpan kisah langka, di situ sekitar seratus ribu manusia pernah mengalami pencerahan secara bersamaan. Sekarang, Lembah Swat berdarah-darah oleh tembakan senjata.

Dengan demikian, jangankan kekuasaan yang dari dulunya sudah kotor, berdarah, dan menakutkan, tempat-tempat di mana cahaya penerang itu pernah turun pun menakutkan. Memang, kadang lahir wajah kekuasaan yang membawa kelembutan. Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Mohammad Hatta, dan Dalai Lama hanya sebagian contoh. Namun, sebagian kekuasaan tergelincir ke dalam kegilaan seperti Ferdinand Marcos dan Hitler, sehingga memberi pilihan kepada setiap pemimpin yang sedang berkuasa, akankah dibikin mulya atau dibikin gila oleh kekuasaan?

Sunyi yang mengabdi

Kendati lahir di tempat dan waktu berbeda, ada yang sama di antara pemimpin yang dibikin mulya oleh kekuasaan, yakni batinnya Brahmana, badannya Ksatria. Setelah melewati kesalehan asketik yang keras, puncak perjalanan seorang Brahmana tercapai ketika batin seseorang telah mencapai apa yang disebut tetua di Jawa sebagai suwung. Tidak ada keakuan, ketakutan, keinginan, apa lagi kerakusan yang tersisa. Semuanya lenyap ditelan suwung . Seperti ruang yang memberi tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Kendati terlihat tidak ada apa-apa, tetapi ruang melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas.

Karena ada ruang, maka cahaya matahari bisa melaksanakan tugasnya, pohon bertumbuh, manusia menjadi lebih dewasa. Begitulah batin yang suwung . Ia kerap disebut mengetahui yang satu kemudian membebaskan semuanya. Karena ketidakterbatasan kasih sayangnya itulah yang menyebabkan mereka dikenang jauh lebih lama dari umur badannya.

Namun, dalam badan ksatria (setelah melewati disiplin ketentaraan yang ketat), kaki selalu melangkah tegap tanpa tersisa sedikit pun ketakutan, tangan selalu siap menembak tanpa sedikit pun keraguan. Tak ada tempat bagi keragu-raguan. Keragu-raguan hanya cermin batin belum suwung . Diterangi batin yang suwung, kemudian pemimpin bisa memutuskan apa saja yang harus diputuskan tanpa beban.

Ksatria yang bertindak cepat tanpa dibimbing oleh batin yang suwung , serupa dengan tentara yang menembak kesetanan ke segala arah. Pemimpin Brahmana yang suwung tanpa disertai oleh kesigapan dan kecepatan bertindak hanya akan menjadi tukang doa yang salah alamat. Karena bukan untuk itu dia lahir. Pemimpin dilahirkan untuk bertindak, biar segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan segera bisa dikurangi.

Intisari kepemimpinan

Makanya, seorang ayah pernah berpesan kepada putranya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi. Dalam pandangan langit (baca: suwung ), semuanya dipayungi dan dilindungi tanpa mengenal pengotak-ngotakan. Namun, dalam bertindak, laksanakan hukum bumi secara ketat: bila menanam ketela dapatnya ketela, menanam kelapa buahnya kelapa. Siapa yang korupsi akan dicaci, ia yang mengabdi akan dihormati. Itu sebabnya tetua menyaring intisari kepemimpinan dalam kalimat sederhana: batin yang sunyi, badan yang mengabdi.

Pesan ini yang dibadankan secara mendalam oleh pemimpin seperti Mohammad Hatta, Nelson Mandela, dan HH Dalai Lama. Tatkala berselisih paham dengan atasannya, tanpa beban Pak Hatta kembali ke profesinya yang semula sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada. Menyisakan pesan jelas sekali, keegoan dan keakuan pemimpin mesti kalah dibandingkan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.

Ketika rezim kulit putih jatuh, Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari seperempat abad plus nyaris mati berkali-kali, lebih memilih memaafkan dibandingkan mengumbar dendam. Pelajarannya terang sekali, kekuasaan bukan sarana untuk mengumbar dendam dan keserakahan. Namun, hanya kendaraan untuk meninggalkan pulau keterbelakangan.

HH Dalai Lama lahir dan bertumbuh di lahan penuh kesedihan dan penderitaan. Umur belasan tahun, negaranya diambil orang. Mengungsi di tempat amat sederhana di India Utara lebih dari setengah abad. Rakyatnya menjadi minoritas di negeri sendiri. Ketika melafalkan doa ini, beliau sering menangis di depan umum: semasih ada ruang, semasih ada makhluk, izinkan saya terus-menerus lahir ke tempat ini, biar ada yang membimbing para makhluk keluar dari kegelapan kemarahan, keserakahan, dan kebingungan.

Cahaya pengertiannya terang sekali, kesedihan dan penderitaan bukanlah api untuk mengobarkan amarah ke mana-mana. Ia hanya sapu pembersih yang membuat hati manusia semakin jernih dari hari ke hari. Andaikan suatu hari nanti peradaban bisa melahirkan pemimpin dengan batin yang sunyi dan badan yang mengabdi mungkin di situ baru kekuasaan bisa menjadi sahabatnya kejernihan.

Kompas, 30 Januari 2010
Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen.

Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.

Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke.

Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang.

Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris.

Hari ini sebagai hadiah

Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.

Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah).

Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.

Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.

Pernafasan adalah keindahan

Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.

Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendela-jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.

Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.

Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.

Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.

Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.

Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!
Ada yang serupa dalam cara manusia berespons di muka bumi, yakni mencampakkan hal-hal yang menjengkelkan, berebut hal- hal yang menyenangkan.

Jangankan dalam perang dan perceraian, dalam spiritualitas juga serupa. Tuhan dipuja setan dicerca, orang suci dipuji orang jahat dimaki. Hasilnya dicatat rapi oleh sejarah, berbagai guncangan tidak kian menjauh, malah kian dekat dengan kadar yang semakin menakutkan. Bom teroris, nuklir Korea Utara hanya sebagian bukti.

Bahan pertumbuhan


Amerika Serikat dan George W Bush adalah salah satu guru. Kedigdayaan AS mau menghentikan teroris dengan kekerasan. Dalam usaha ini, terang-terangan menyebut segelintir negara sebagai ”poros setan”. Setelah sekian tahun berlalu, tidak saja teroris kian menyeramkan, Afganistan dan Irak menyedihkan, AS pun mengalami penurunan menakutkan.

Ini memberi pelajaran bermakna. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, menghentikan kekejaman dengan kekejaman, serupa dengan menambah bensin pada api membara, makin lama makin berkobar.

Bila boleh jujur, setiap putaran waktu selalu ada penggoda. Yesus digoda Judas, istri Rama dilarikan Rahwana, Shri Krishna terpaksa turun perang karena keserakahan Duryodana, Buddha berkali-kali dicoba dibunuh Devadatta. Rangkaian sejarah ini bercerita, mencoba melenyapkan penggoda tidak saja sia-sia, tetapi juga melanggar hukum alam. Lebih dari itu, tidak ada pertumbuhan tanpa godaan.

Pesan seorang papa kepada putranya, ”Semakin tua umurmu, semakin banyak masalah yang datang. Namun, tolong diingat, persoalan muncul tidak untuk menghancurkan, tetapi untuk membuatmu tambah dewasa.”

Semesta memang semakin tua, akibatnya masalah semakin menumpuk. Namun, hanya tangan kebijaksanaan yang bisa mengolah persoalan menjadi berkah pertumbuhan. When sorrow invades the mind, compassion arises. Saat kegelapan kesedihan mengguncang, ia tidak mengundang kegelapan kemarahan, tetapi memunculkan cahaya kasih sayang.

Di salah satu majelis taklim di Jakarta pernah terdengar pesan indah, ”Sahabat-sahabat yang keras dan ganas itu jangan dijauhi. Harus ada yang mendekati, menyayangi, mencintai mereka. Terutama agar mereka keluar dari lingkaran gelap kekerasan”.

Undangan kebijaksanaan itu sungguh menyejukkan, sekaligus memberi masukan, masih banyak tersisa wajah yang sejuk, teduh, dan memayungi.

Seorang kakek mengelus cucu yang sedang marah dan sedih sambil berucap lembut: ”Sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, ingatlah manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.”

Bermesraan

Coba perhatikan para teroris, mereka dibikin oleh sepasang orangtua yang berpelukan dan bermesraan. Didoakan orangtua agar menjadi manusia berguna. Bertumbuh di sekolah yang mengajarkan kebaikan. Berdoa di tempat ibadah yang mendoakan keselamatan. Namun, karena berbagai hal yang tak sepenuhnya dimengerti, mereka diselimuti sejumlah awan kesalahpahaman. Dan awan ini tak menjadi hasil kerja mereka seorang diri.

Ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya terkelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menggiring mereka masuk terowongan gelap kesalahpahaman. Mencaci mereka hanya akan mempertebal kesalahpahaman.

Dalam bingkai pemahaman seperti ini, tidak adil bila menempatkan teroris sebagai terdakwa yang hanya layak disalahkan. Menyadari pendidikan, pergaulan, dan pemahaman agama para teroris yang terbatas, mereka lebih layak disebut ”korban” kesalahpahaman dibandingkan menjadi ”penyebab” kesalahpahaman.

Serupa dengan seseorang yang amat marah kepada lalat yang masuk rumahnya, sementara rumahnya penuh kotoran menjijikkan. Sebenarnya dengan semua kekerasan dan kekisruhan yang ditimbulkan, umat manusialah yang mengundang kekerasan teroris. Padahal, bila rumahnya bersih dan wangi, otomatis lalatnya menghilang.

Untuk itulah, setelah kekerasan tak kunjung pergi dengan jalan memaki-maki teroris, mungkin ini saatnya membersihkan rumah keseharian. Meminjam bahasa tetua, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik, bila kita di dalamnya cukup baik.

Seorang pertapa berkali-kali menggigil menangis saat bom teroris meledak, mendengar suara guru di dalam, ”Bawa orang-orang pulang. Kebencian, kemarahan, apalagi kekejaman bukan rumah sebenarnya. Rumah jiwa adalah cinta dan keikhlasan”. Ini mengingatkan kisah Nabi Nuh. Kendati tempat tinggalnya padang pasir tak berair, ia ikuti suara saat diminta membuat perahu.

Diterangi cahaya spiritual seperti ini, mungkin layak dipertimbangkan mengirim bunga cinta bagi teroris. Bagi pemimpin dan tokoh, hati-hatilah karena menjadi teladan yang ditiru. Bagi para guru (terutama guru agama), ajarkan wajah agama yang indah di awal, di tengah, dan di akhir. Bagi orangtua, sayangi putra-putri di rumah. Bagi sahabat media, wartakan kelembutan. Pengelola televisi, tayangkan gambar-gambar yang bisa membangunkan energi kasih dalam diri manusia. Itulah sebagian contoh mengirim rangkaian bunga cinta untuk mereka yang berpotensi menjadi teroris pada masa depan.

Mengirim bunga cinta kepada pihak-pihak yang berpotensi menyakiti adalah bukti rumah batin sudah bersih sekaligus jernih. Dengan batin seperti inilah kita songsong masa depan yang lebih membahagiakan. Mistikus sufi Jalaludin Rumi menulis, hidup seperti tinggal di losmen, tiap hari ganti tamu. Siapa pun tamunya (senang-sedih, suka-duka), jangan lupa tersenyum.

Kompas, 05 September 2009
Gede Prama, Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing
KESEDERHANAAN YG PALING MENCERAHKAN
Posted by Gede Blue on 2003-05-05 Oleh: Gede Prama

Tanggal 7 Desember 2001 adalah salah satu hari yang "khusus" dalam hidup saya. Disebut khusus, karena di hari itu saya dilantik menjadi orang nomer satu (CEO) sebuah holding company yang membawahi sekumpulan perusahaan yang sempat menjadi perdebatan panas di negeri ini.

Mirip dengan ketika pertama kali seorang sahabat mendekati saya agar bersedia menjadi pioneer, saat pelantikanpun masih ada perasaan mendua : apakah ini berkah atau musibah ? Lebih-lebih keesokan harinya, harian Kompas memberitakannya dengan tulisan besar di halaman ekonominya. Maka berdatanganlah telepon dan pesan-pesan SMS yang mesti dilayani satu per satu. Umumnya, hampir semua sahabat mengucapkan selamat, sekaligus berpesan hati-hati. Namun, segelintir sahabat dekat mengirimkan berita duka cita : ‘ikut berduka cita akan diangkatnya Gede Prama di posisi baru’. Terutama karena mereka khawatir saya bisa kehilangan kejernihan dan kejujuran.

Sebagai manusia biasa yang masih memiliki kekuatan emosi di dalam sini, keraguan memang kadang datang sebagai pengunjung. Demikian juga ketika hari khusus di atas tiba. Akan tetapi, di salah satu keheningan meditasi, ada serangkaian ide yang sempat terlintas di kepala. ‘Ketakutan adalah sejenis ketidakyakinan kepada Tuhan’, demikian ide itu melayang-layang dibawa pikiran.

Dalam cahaya kesadaran seperti ini, saya hanya bisa berjalan tegak ke depan, plus sebuah kata klise yang teramat sering saya kutip : ikhlas. Seorang sahabat penyiar di radio Female Jakarta, mengirim SMS : ‘Tugas ini memang berat, tapi dengan sayap-sayap cinta dan keikhlasan, Anda akan bisa menyelesaikannya’.

Entah bagaimana Anda bisa menarik manfaat dari kejadian ini, namun bagi saya ini adalah sebuah momentum besar untuk melakukan perenungan dalam keheningan. Lama sempat saya bertanya pada sang keheningan, apa pesan-pesan yang mau dihadirkan di balik semua ini. Rupanya, sebuah ide lama muncul di kepala : ‘tidak sombong ketika di atas, tidak bersedih tatkala di bawah, itulah kesederhanaan kehidupan yang amat mencerahkan’.

Ternyata saya diingatkan lagi akan pentingnya kembali ke azas yang paling dasar : ‘tidak sombong ketika di atas, tidak bersedih tatkala di bawah’. Siapa saja meresapi prinsip terakhir secara amat mendalam, pikirannya bersinar terang benderang. Tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi siapa saja yang berada di dekatnya.

Mirip dengan matahari yang menyinari alam semesta, demikianlah pikiran yang sudah berakar dalam pada kesederhanan kehidupan tadi. Persoalannya kemudian, bagaimana menanamkan semua ini ke dalam akar-akar kesadaran. Masih belajar dari matahari, ada satu ciri menarik matahari yang layak direnungkan dalam hal ini. Matahari mendalami sekali apa yang disebut seorang guru Yoga sebagai the art of letting go. Seni membiarkan semuanya berlalu secara alami. Lihatlah matahari, ia senantiasa menjalankan tugasnya. Seperti mengajarkan ke kita setiap hari, tugas kita hanya melaksanakan tugas. Sisanya, membiarkan semuanya berjalan melaui hukum-hukum alami.

Sayangnya, kita manusia kerap serakah. Ketika sedang di atas, ingin agar kedudukan di atas ini bertahan selamanya. Tatkala di bawah memohon ke Tuhan agar semuanya cepat berlalu. Keserakahan macam inilah yang menjadi musuhnya kejernihan dan pencerahan. Bercermin dari sini, kalau banyak orang menghabiskan hampir semua waktunya dengan tangan mengepal (baca : mempertahankan apa yang ada di tangan dan berjuang untuk selalu mendapat), mungkin ada saatnya untuk membuka tangan. Bukan untuk membuang-buang apa yang sudah kita miliki, melainkan merelakan dan mengikhlaskan alam bekerja dengan rumusan-rumusannya sendiri.

Ada yang mengartikannya dengan sikap pasrah yang pasif. Tentu saja ini perlu diluruskan. Sebab the art of letting go terletak pada sektor hasil, bukan dalam usaha. Menyangkut usaha, tidak ada pilihan lain kecuali berusaha sekuat tenaga. Begitu ia sudah dilakukan secara maksimal, bukalah tangan, biarkan sang alam bekerja dalam hukum-hukumnya sendiri.

Ada tidak sedikit orang dan sahabat – terutama yang suka ngotot terhadap kehidupan – yang ragu, akankah cara hidup demikian bisa membuahkan hasil atau tidak. Tentu saja tergantung pada apa yang kita sebut dengan hasil. Kalau pengertian tentang hasil adalah materi yang banyak dalam jangka pendek, keraguan tadi bisa dimaklumi. Apa lagi kalau tidak perduli sama sekali pada dampak-dampak jangka panjang. Cuman kalau ukuran hasilnya adalah kedamaian dalam jangka panjang, baik ke dalam maupun ke luar, cara-cara seperti ini layak untuk dipertimbangkan.

Kehidupan Anda adalah pilihan Anda sendiri. Kemana Anda berbelok adalah hak Anda sendiri. Dengan tidak ada maksud membelokkan Anda, apa lagi memaksa Anda untuk ikut saya, kehidupan saya ditandai oleh banyak sekali monumen rasa syukur. Dari yang besar sampai yang kecil. Dan setiap menoleh ke jalan-jalan di belakang, hampir setiap belokan isinya adalah monumen rasa syukur. Dan jika ada yang bertanya, apa kendaraan yang saya gunakan, ya itu tadi, saya sedang mendidik diri untuk tidak sombong ketika di atas, dan tidak bersedih tatkala di bawah. Sebagaimana roda berjalan, bukankah tidak ada yang namanya keadaan permanen untuk senantiasa di atas ?. Lagian, kalau sudah ikut lentur berputar bersama sang roda, bukankah di atas dan di bawah sama indah dan nikmatnya ?


HARTA KARUN DARI AIR TERJUN
Posted by Gede Prama on 2008-04-03 ]
Ada berbagai macam cara melakukan silaturahmi. Salah satunya melalui SMS. Dan karena keterbatasan waktu dan tenaga, kadang saya mengunjungi sejumlah teman melalui SMS. Pada sebuah kesempatan, salah satu SMS tadi dikirim dengan gambar kupu-kupu diikuti pesan sederhana : "kupu-kupu ini membawa dompet yang isinya tidak pernah habis, yakni persahabatan." Banyak sahabat yang berespon positif dan merasakan diri ini hadir dalam kehidupan mereka sesaat kemudian. Tidak sedikit yang mengatakan tersentuh.

Akan tetapi, di sebuah kesempatan pernah ada suara Ibu yang marah-marah ke saya akibat pesan SMS di atas. Seperti sedang mewawancarai calon karyawan, ditanyalah saya ke sana dan ke mari. Setelah didengarkan secara sabar, rupanya ia curiga sama suaminya. Dia kira pesan SMS di atas datang dari wanita lain dan nama saya hanya dipinjam sebagai judul tipuan. Dan ditutuplah telepon dengan keras tanpa mengucapkan terimakasih.

Inilah sekelumit kehidupan dalam kekinian. Di mana kecurigaan, kekakuan, ketakutan sudah menjadi beban berat kehidupan yang digendong orang ke mana-mana. Kalau kemudian, perjalanan kehidupan terasa sangat berat, lebih karena manusia sendiri yang rela menggendongnya ke mana-mana. Tidak hanya Ibu tadi, sayapun pernah menggendong beban-beban berat yang tidak perlu. Ada beban takut masa depan, ada beban khawatir tentang sekolah putera-puteri, ada rasa khawatir ditinggal orang-orang tercinta.

Hanya saja, setelah mengunjungi kolam-kolam kejernihan, ada rasa bersalah terhadap masa lalu yang tidak berdosa. Masa lalu yang sebenarnya bersih dan jernih, terpaksa harus kotor karena kesukaan untuk takut, ngotot dan memaksa. Dan ketika lelah, baru mengunjungi kejernihan. Dalam salah satu kunjungan saya pada kejernihan, sebuah buku sederhana berjudul Zen Path To Harmony yang berisi kumpulan gambar dan tidak jelas siapa editornya, pernah menghadirkan pesan menyentuh.

Dengan latar belakang gambar air terjun alami nan indah, buku ini mengutip pendapat Chuang Tzu : Flow with whatever may happen and let your mind be free : Stay centered by accepting whatever you are doing. This is the ultimate. Pertama kali pesan ini terbaca mata, ada keindahan, keteduhan dan ketenteraman yang dibawakan air terjun rupanya. Ketika hidup sudah mengalir dengan apa saja yang mungkin terjadi, kemudian dengan modal tadi manusia belajar "terpusat" dengan menerima proses yang sedang terjadi, tatkala itu juga perjalanan sampai di puncak kehidupan.

Mengalir itu modal pertama. Terpusat pada proses yang sedang terjadi, itu modal kedua. Serupa dengan aliran air di sungai, kehidupan tidak saja terus berjalan. Tetapi yang lebih inspiratif, kelenturanlah yang membuat air bisa melewati setiap rintangan. Demikian juga dengan kehidupan. Ada seorang peneliti yang pernah meneliti ciri-ciri kejiwaan orang yang pernah terkena serangan jantung. Rupanya, lebih delapan puluh persen dari lima ratus responden menunjukkan tanda-tanda hidup yang ngotot dan kaku.

Tidak selamanya sikap ngotot dan kaku itu berwajah buruk tentu saja. Banyak kemajuan justru didorong oleh kengototan untuk mencapai tujuan. Cuman, kengototan di semua tempat dan semua keadaan, sungguh sebuah kegiatan yang mencelakakan. Lebih-lebih kalau kengototan itu ditujukan ke orang yang kita temui di cermin setiap harinya. Tidak hanya sering memproduksi penyakit, melainkan juga wajah kehidupan kita hadir di diri sendiri maupun orang lain dengan penuh kerut.

Ada yang menyebut kehidupan mengalir seperti ini sebagai sikap pasrah yang tidak produktif. Dan tentu saja boleh menyebutnya demikian. Cuman, dalam kedalaman kolam kontemplasi, justru dalam mengalir itu sendirilah terletak banyak misteri kehidupan yang tidak bisa diberikan oleh reputasi, harta dan bahkan tahta.

Lebih-lebih kalau keadaan mengalir tadi dilengkapi dengan keterpusatan pada proses yang sedang terjadi ? dan menyongsong hasilnya hanya dengan kendaraan keikhlasan. Sejumlah sahabat jernih menyebutkan, inilah yang kerap disebut dengan pencerahan. Sangat sedikit orang yang pernah sampai di sana. Dan ternyata, harta karun kehidupan terakhir tersembunyi di setiap air terjun.

Dengan kesadaran seperti ini, tentu saja tidak disarankan untuk meninggalkan pekerjaan, keluarga dan bahkan masyarakat untuk pergi ke air terjun. Air terjun simbolik tadi sebenarnya ada di mana-mana, kita bawa ke mana-mana. Suara-suara jernihnya pun berbisik setiap saat. Cuman, melalui kesukaan orang untuk hidup secara ngotot akan hasil, kemudian telinga-telinga kehidupan menjadi tuli akan suara terakhir. Apa lagi kengototan tadi bertemu dengan pikiran yang tidak pernah terpusat di hari ini. Jadilah ia semacam kombinasi yang berujung pada kehidupan tidak nyata. Jauh dari keseharian, jauh juga dari dari kejernihan.

Saya tidak berani menghakimi kehidupan demikian sebagai kehidupan yang keliru. Hanya merasa sayang saja, kalau harta karun yang demikian berharga, yang tersembunyi di air terjun yang kita bawa kemana-mana, kemudian jadi kekayaan yang terbuang percuma. Lebih dari sekadar sayang karena terbuang, keadaan seperti ini juga yang membuat Kabir pernah tertawa : "Saya tertawa, ikan mati kehausan di dalam air!"

Dalam ilmu-ilmu manusia, sudah lama dikenal rumus ’kita bisa menjadi apa yang kita pikirkan’. Ketika perang dingin antara AS-Soviet demikian menakutkan, pikiran kolektif manusia berpikir bagaimana ia segera berakhir. Dan keruntuhan Soviet membuat perang dingin berakhir, digantikan dengan kedigdayaan AS yang tidak tertandingi. Bom teroris yang meraung-raung, kemudian berusaha menjadi pengimbang. Ini disusul oleh bom yang lebih besar di Afghanistan dan Irak. Dalam keadaan seperti ini, pikiran kolektif mulai rindu dengan negara yang bisa menjadi pengimbang AS. Dan jangan-jangan ini bisa berujung pada datangnya perang dingin kembali.

Indonesia juga serupa. Ketika orde baru berkuasa, banyak sekali orang yang merindukan kebebasan. Dan tatkala orba runtuh, kebebasan memang datang. Namun, mulai ada tanda-tanda banyak manusia Indonesia yang bosan kebebasan, rindu keteraturan. Jangan-jangan pikiran kolektif seperti ini juga akan menghasilkan orde baru dengan baju baru.

Sebagaimana ditulis Dr. Michael Newton dalam Journey of the Souls, banyak sekali jiwa yang mengalami depresi berat, setelah dihipnoterapi ternyata berkejaran dengan keinginan sejak kehidupan-kehidupan sebelumnya. Dalam derajat yang berbeda, umat manusia juga sedang berkejar-kejaran dengan keinginan. Tanda-tandanya, menyukai sesuatu yang akan terjadi nanti, membenci sesuatu yang sudah kita genggam kini. Setelah yang nanti menjadi sesuatu yang kini, lagi-lagi kita merindukan yang nanti.

Ini serupa dengan kisah Nasrudin. Suatu hari Nasrudin sedang asik memancing. Tiba-tiba polisi datang. Dan berlari kencanglah Nasrudin yang diikuti polisi di belakangnya. Setelah berhenti karena kelelahan, polisi sambil membentak bertanya : ’mana tiket masuknya?’. Dengan polos Nasrudin mengeluarkan tiket dari kantong. Sadar polisinya keliru, ia bertanya balik: ’kalau punya tiket kenapa tadi lari?’. Dengan lugu Nasrudin berucap: ’saya tadi lari karena penyakit maag kambuh, ingin cepat-cepat bertemu dokter’. Beginilah kehidupan banyak orang. Terlalu banyak waktu terbuang untuk berlari. Setelah habis energi, baru sadar kalau berlari untuk sebuah kesalahpahaman. Dan yang paling banyak bertanggungjawab terhadap hidup yang terus berlari adalah keserakahan/ keinginan.

Kebahagiaan vs. keinginan

Sadar akan bahayanya keserakahan inilah, kemudian tidak sedikit guru yang belajar mengelolanya. Seperti menangkap sapi liar, awalnya melawan, memberi penjelasan kalau terpenuhinya keinginan adalah tanda dicapainya kebahagiaan.

Namun, apa pun alasannya, tetap keinginan dikembalikan ke tempat semula, hanya sebagai pembantu bukan penguasa. Makanya ada yang mencoba bercakap-cakap dengan keserakahan. Hai keserakahan, rumah siapakah yang suka kau kunjungi?. ’Rumah orang kaya karena di sana saya jadi raja’. Tatkala pertanyaannya dibalik, rumah siapa yang dibenci, ia menjawab sedih: ’rumah orang bijaksana karena di sana saya hanya jadi pembantu’.

Inilah tanda-tanda awal manusia yang mulai diterangi kebijaksanaan, keinginan dan keserakahan kembali ke tempat duduk asalnya sebagai pembantu setelah lama congkak jadi penguasa. Kalau bukan terpenuhinya keinginan sebagai ukuran kebahagiaan, lantas adakah ukuran kebahagiaan yang lain?

Seorang pejalan kaki ke dalam diri pernah berbisik, orang yang bahagianya amat mendalam adalah orang yang sadar di dalam batinnya bahwa dialah yang paling hina. Untuk itu, tidak ada pilihan lebih baik untuk menemukan kebahagiaan terkecuali rendah hati. Sebagai akibat meletakkan diri di tempat terendah, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghinanya. Karena tidak bisa dihina, maka ia bahagia di mana saja berada.

Di dunia Sufi pernah lahir Faried yang agung. Oleh gurunya pernah diajari: ’Faried kapan saja engkau dipukuli orang, cepat cium kakinya, kemudian pulanglah tanpa rasa dendam’. Murid-murid Kristus telah lama diajari hanya kasih yang bisa membuat setetes jiwa menjadi lautan Tuhan. Lebih terang lagi ada yang menulis: all souls are perfected in love.

Bhisma pernah berpesan pada Yudistira tentang orang suci ketika tubuhnya beberapa saat lagi akan wafat. Orang suci adalah manusia dengan batin tenang seimbang. Dalam batin seperti ini, semua arah adalah indah.

Bagi segelintir pencari kesucian di jalan Buddha, penderitaan bukanlah sesuatu yang ditakuti. Ketika memilih antara penderitaan dengan kebahagiaan, mereka memilih penderitaan. Terutama karena penderitaan seperti air suci yang memurnikan perjalanan.

Inilah contoh-contoh manusia yang berbahagia tanpa tenggelam dalam keserakahan. Mereka memiliki pengertian tentang kekayaan secara berbeda. Contentment is the greatest wealth. Dalam rasa berkecukupan itulah letak kekayaan teragung. Orang-orang seperti ini kerap berpesan, ketika orang menyebut dirimu agung, bukan karena engkau agung, namun karena jiwa mulai tersambung dengan jiwanya jiwa. Orang-orang theistik (Islam, Nasrani, Hindu) memberi simbol angka satu terhadap hal ini. Terutama karena yang dua (diri dan Tuhan) telah menyatu. Orang-orang non theistik (contohnya Buddha) memberi simbol angka nol akan hal ini. Secara lebih khusus karena semua sudah sempurna apa adanya. Tidak ada lagi hal positif yang perlu ditambahkan, tidak ada lagi hal negatif yang perlu dikurangkan. Terlihat berbeda memang. Dan biarlah pohon kelapa tumbuh di pantai, pohon cemara bertumbuh di gunung. Keduanya bertumbuh indah di tempat asalnya.

Makanya di Timur pernah lahir pendapat tentang ciri-ciri manusia dengan berkah agung: ’memandang perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran, kekayaannya adalah rasa berkecukupan, hidupnya diterangi matahari kesadaran, dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan’.

Di Barat pernah ada yang menulis: ’my parent hate me when they know that I am a Buddhist but they love me when they know that I am a Buddha’. Orang tua pernah terkejut melihat anaknya karena kerap masuk Vihara. Namun ia cinta sekaligus bangga ketika melihat puterinya menunjukkan sifat-sifat bajik setiap hari. Seperti memberikan tanda makna, bukan judul agama yang membuat seseorang menjadi agung, melainkan kebajikan-kebajikan dalam keseharian.

by gede prama