Minggu, 14 Maret 2010

menjadi kaya

Menjadi orang kaya, itulah cita-cita banyak sekali orang. Hal yang sama juga pernah melanda saya. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMU, kemudian menyaksikan ada rumah indah dan besar, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi menikmati keindahan rumahnya, sering saya bertanya ke diri sendiri : akankah saya bisa sampai di sana ?. Sekian tahun setelah semua ini berlalu, setelah berkenalan dengan beberapa orang pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, atau menjadi penasehat tidak sedikit orang kaya, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi bayangan dulu.

Penyelaman saya secara lebih mendalam bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Ada pengusaha yang menatap semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada sahabat yang berganti mobil termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa Ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut pada kekayaan materi.

Dalam tataran pencaharian seperti ini, tiba-tiba saja saya membaca karya Shakti Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 yang menulis : ‘If we have too many things we don’t truly need or want, our live become overly complicated‘. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks.

Rupanya saya tidak sendiri dalam hal ketakutan bertemu hidup yang amat rumit karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan. Shakti Gawain juga serupa. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan, ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana tidur saya amat terganggu di hari pertama ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi. Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan. Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat saya hampir jadi paranoid. Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya, kekayaan materi memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat), namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa habis oleh kekayaan materi.

Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan materi juga menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan rasa syukur. Apa lagi kalau harapan bisa mendorong orang bekerja amat keras, plus keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi, harapan ini terbang dan berlari liar. Dan kemudian membuat kehidupan berlari seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.

Berefleksi dan bercermin dari sinilah, saya sudah teramat lama meninggalkan kehidupan yang demikian ngotot mengejar kekayaan materi. Demikian tidak ngototnya, sampai-sampai ada rekan yang menyebut saya bodoh, tidak mengerti bisnis, malah ada yang menyebut teramat lugu. Untungnya, badan kehidupan saya sudah demikian licin oleh sebutan-sebutan. Sehingga setiap sebutan, lewat saja tanpa memberikan bekas yang berarti.

Ada sahabat yang bertanya, bagaimana saya bisa sampai di sana ? Entah benar entah tidak, dalam banyak keadaan terbukti kalau saya bisa berada di waktu yang tepat, tempat yang tepat, dengan kemampuan yang tepat. Ketika ada perusahaan yang membutuhkan seseorang sebagai pemimpin yang cinta kedamaian, saya ada di sana. Tatkala banyak perusahaan kehilangan orientasi untuk kemudian mencari bahasa-bahasa hati, pada saat yang sama saya suka sekali berbicara dan menulis dengan bahasa-bahasa hati. Dikala sejumlah kalangan di pemerintahan mencari-cari orang muda yang siap untuk diajak bekerja dengan kejujuran, mereka mengenal dan mengingat nama saya. Sebagai akibatnya, terbanglah kehidupan saya dengan tenang dan ringan. Herannya, bisa sampai di situ dengan energi kengototan yang di bawah rata-rata kebanyakan orang. Mungkin tepat apa yang pernah ditulis Rabin Dranath Tagore dalam The Heart of God : ‘let this be my last word, that I trust in Your Love’. Keyakinan dan keikhlasan di depan Tuhan, mungkin itu yang menjadi kendaraan kehidupan yang paling banyak membantu hidup saya.

Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam setiap doa saya senantiasa memohon agar seluruh permohonan saya dalam doa diganti dengan keikhlasan, keikhlasan dan hanya keikhlasan. Tidak hanya dalam doa, dalam keseharian hidup juga demikian. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara demikian kita bisa kaya dengan jalan sederhana.

oleh : Gede Prama

5 pintu

gede pramaGede Prama memulai talkshow dengan bercerita tentang tokoh asal Timur Tengah, Nasruddin. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.

Tetangganya bertanya, “Jarumnya jatuh dimana?”

“Jarumnya jatuh di dalam,” jawab Nasruddin.

“Kalau jarum bisa jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?” tanya tetangganya. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, “Karena di dalam gelap, di luar terang.”

More…Begitulah, kata Gede Prama, perjalanan kita mencari kebahagiaan dan keindahan. Sering kali kita mencarinya di luar dan tidak mendapat apa-apa. Sedangkan daerah tergelap dalam mencari kebahagiaan dan keindahan, sebenarnya adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak ’sumur’ kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga mencarinya jauh-jauh, karena ’sumur’ itu berada di dalam semua orang.


Sayangnya karena faktor peradaban, keserakahan dan faktor lainnya, banyak orang mencari sumur itu di luar. Ada orang yang mencari bentuk kebahagiaannya dalam kehalusan kulit, jabatan, baju mahal, mobil bagus atau rumah indah. Tetapi kenyataannya, setiap pencarian di luar tersebut akan berujung pada bukan apa-apa. Karena semua itu, tidak akan berlangsung lama. Kulit, misalnya, akan keriput karena termakan usia, mobil mewah akan berganti dengan model terbaru, jabatan juga akan hilang karena pensiun.

“Setiap perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan di luar, akan selalu berujung pada bukan apa-apa, leads you nowhere. Setiap kekecewaan hidup yang jauh dari keindahan dan kebahagiaan, berangkat dari mencarinya di luar,” tegas Gede Prama. Untuk mencapai tingkatan kehidupan yang penuh keindahan dan kebahagiaan, seseorang harus melalui 5 (lima) buah ‘pintu’ yang menuju ke tempat tersebut.

Pintu pertama adalah stop comparing, start flowing.
“Stop membandingkan dengan yang lain. Seorang ayah atau ibu belajar untuk tidak membandingkan anak dengan yang lain. Karena setiap pembandingan akan membuat anak-anak mencari kebahagiaan di luar,” ujar Gede Prama.

Setiap penderitaan hidup manusia, setiap bentuk ketidakindahan, menurut Gede Prama, dimulai dari membandingkan. Gede Prama mencontohkan orang kaya berkulit hitam yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia berkulit hitam. Orang itu sering kali membandingkan dirinya dengan orang kulit putih.

“Uangnya banyak, mampu mengongkosi hobinya untuk operasi plastik. Sehingga orang yang hidup dari satu perbandingan ke perbandingan lain, maka hidupnya kurang lebih sama dengan seorang orang kaya itu. Leads you nowhere,” kata Gede Prama dengan logatnya yang khas.

Karena itu, Gede Prama mengajak peserta ke sebuah titik, mengalir (flowing) menuju ke kehidupan yang paling indah di dunia, yaitu menjadi diri sendiri. Apa yang disebut flowing ini sesungguhnya sederhana saja.

Kita akan menemukan yang terbaik dari diri kita, ketika kita mulai belajar menerimanya. Sehingga kepercayaan diri juga dapat muncul. Kepercayaan diri ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang kita bangun dari dalam. “Tidak ada kehidupan yang paling indah dengan menjadi diri sendiri. Itulah keindahan yang sebenar-benarnya!” kata Gede Prama.

Pintu kedua menuju keindahan dan kebahagiaan adalah memberi. Sebab utama kita berada di bumi ini, kata Gede Prama, adalah untuk memberi. “Kalau masih ragu dengan kegiatan memberi, artinya kita harus memberi lebih banyak,” ujar Gede Prama.

“Saya melihat ada 3 tangga emas kehidupan; I intend good, I do good and I am good. Saya berniat baik, saya melakukan hal yang baik, kemudian saya menjadi orang baik. Yang baik-baik itu bisa kita lakukan, bila kita konsentrasi pada hal memberi,” lanjut Gede Prama lagi. Memberi tidak harus selalu dalam bentuk materi. Pemberian dapat berbentuk senyum, pelukan, perhatian. Dan setiap manusia yang sudah rajin memberi, dia akan memasuki wilayah beauty and happiness.

“Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya. Ada yang suka memberi, ada yang pelit. Saya melihat orang yang tidak suka memberi muka orang itu keringnya minta ampun. Orang yang mukanya kering ini bertanya pada saya, apa rahasia kehidupan yang paling penting yang bisa saya bagi ke saya.

Saya bilang sleep well, eat well,” ungkap Gede Prama sambil tersenyum. Artinya memang, untuk ongkos untuk menjadi bahagia tidak mahal. Hanya saja orang sering kali memperumit hal yang sudah rumit. Kalau kita sederhanakan, sleep well, eat well akan jadi mudah jika diikuti dengan kegiatan memberi.

Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan adalah berawal dari semakin gelap hidup Anda, semakin terang cahaya Anda di dalam. Perhatikanlah bintang di malam hari tampak bercahaya, jika langitnya gelap. Sedangkan, lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika ruangannya gelap. Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan cobaan dalam hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.

“Jika Anda punya suami yang keras dan marah-marah, jangan lupa bersyukurlah. Karena suami yang keras dan marah-marah, membuat sinar dari dalam diri Anda bercahaya. Anda punya istri cerewetnya minta ampun. Bersyukurlah, karena orang cerewet adalah guru kehidupan terbaik. Paling tidak dari orang cerewet kita belajar tentang kesabaran.

Jika Anda punya atasan diktatornya minta ampun. Bersyukurlah, karena Anda dapat belajar tentang kebijaksanaan,” ujar Gede Prama membesarkan hati.

Orang yang pada akhirnya menemukan keindahan dan kebahagiaan, menurut Gede Prama, biasanya telah lulus dari universitas kesulitan. Semakin banyak kesulitan hidup yang kita hadapi, semakin diri kita bercahaya dari dalam. Mengutip perkataan Jamaluddin Rumi, semuanya dikirim sebagai pembimbing kehidupan dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan.

“Tidak hanya orang cantik saja yang berguna, orang jelek juga berguna. Gunanya adalah karena orang jelek, orang cantik terlihat jadi tambah cantik,” kata Gede Prama disambut tawa peserta. “Jadi semuanya ada gunanya, untuk menghidupkan cahaya-cahaya beauty and happiness,” tegasnya.

Pintu keempat adalah surga bukanlah sebuah tempat, melainkan adalah rangkaian sikap. “Bila Anda melihat hidup penuh dengan kesusahan dan godaan, maka neraka tidak diketemui setelah mati. Neraka sudah ketemu sekarang,” ujar Gede Prama.

Sedangkan Anda akan bertemu surga, jika hasil dari rangkaian sikap Anda benar. Sikap ini dimulai dari berhenti mengkhawatirkan segala sesuatunya, dan coba yakinkan diri bahwa everything will be allright. Setiap kali kita melalukan ritual peribadatan, tetapi setiap kali pula kita merasa takut. Padahal ketakutan adalah sebentuk ketidakyakinan terhadap kebenaran.

“Kalau Anda melalukan ritual peribadatan tapi masih takut, mending jangan melalukan ritual peribadatan, karena toh Anda tidak yakin terhadap kebenaran,” kata Gede Prama.

“Segala sesuatunya menjadi baik-baik saja jika Anda mencintai yang kecil,” sambung Gede Prama.

Pintu kelima menuju keindahan dan kebahagiaan yakni tahu diri kita dan kita tahu kehidupan. Manusia-manusia yang tidak tahu diri adalah manusia yang tidak pernah ketemu keindahan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

“Sumur kehidupan yang tidak pernah kering berada di dalam. Sumur ini hanya kita temukan dan kita timba airnya kalau kita bisa mengetahui diri kita sendiri,” kata Gede Prama.

Seandainya diri sendiri telah ditemukan, maka artinya kita kemudian mengetahui arti kehidupan.

sumber : http://b371ny03.blogspot.com